Page

Law


Militer Malaysia Siap Bantu Perangi Pembajak Somalia
Kamis, 14 April 2011 | 04:11 WIB

TEMPO Interaktif, Kuala Lumpur - Setelah India dilaporkan siap membantu Indonesia mengatasi pembajak Somalia, militer Malaysia kemarin menyatakan juga kesediaan serupa. Namun Kepala Staf Angkatan Bersenjata Diraja Malaysia Jendral Tan Sri Azizan Ariffin mengatakan Indonesia belum meminta bantuan dari Malaysia.

“Jika kami kebetulan di sana, kami dapat memberikan bantuan sebagaimana Malaysia bagian dari pasukan internasional. Kami bekerja sama dalam pertukaran informasi dan eksekusi operasi di Teluk Aden,” kata Azizan Ariffin di Kuala Lumpur, kemarin.

Malaysia punya pengalaman menangani pembajakan saat tanker MISC MT Bunga Laurel dengan 23 awak dibajak perompak Somalia pada 2009. Satuan Perlindungan Khusus yang menumpang kapal Bunga Mas 5 kemudian menyerbu dan menciduk tujuh perompak.

Sejumlah negara memang bertindak tegas seperti Malaysia dalam mengatasi pembajakan. Namun pemerintah Indonesia hingga kemarin masih bersikap hati-hati. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan, penanganan pembajakan kapal MV Sinar Kudus oleh perompak Somalia tak bisa disamakan dengan kasus Korea Selatan.

"Situasi yang terjadi waktu itu berbeda dengan posisi kita sekarang," kata Purnomo usai mengikuti rapat di kantor Wakil Presiden, di Jakarta, kemarin. Dia enggan merinci perbedaan upaya antara Indonesia dan Korea Selatan. "Kosentrasi kita menyelamatkan sandera.”

Sejumlah negara seperti India, Malaysia, Korea dan dan Denmark lainnya pernah menggelar operasi militer setelah negoisasi buntu. Korea, contohnya, sejak dikabarkan satu kapal berbendera Korea Selatan dibajak, Seoul langsung mengirim kapal melacak pembajak. Pada 21 Januari lalu pasukan khusus Angkatan Laut Korea Selatan menyerbu kapal Samho Jewelry yang dibajak dan membebaskan semua sandera. Termasuk dua warga negara Indonesia sebagai anak buah kapal.

Sabtu pekan lalu giliran Angkatan Laut Denmark sukses membebaskan sebuah kapal berbendera Denmark berikut 18 awaknya. Juru Bicara AL Denmark, Kenneth Nielsen, kemarin membenarkan 15 perompak ditahan di kapal perang Esbern Snare bagian dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Tiga perompak tertembak.

Operasi itu bagian dari gugus antipembajakan Ocean Shield NATO yang dilancarkan dua pekan lalu. Bersama kapal perang Belanda Tromp, Esbern Snare dikerahkan berpatroli di garis pantai Somalia mencegah para kapal utama pembajak menyerang kapal-kapal dagang di Samudera Hindia.

Soal aksi mengatasi perompakan, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah bersepakat membuat hukum baru, pengadilan dan penjara khusus untuk menangkal ancaman pembajakan di lepas pantai Somalia lewat Resolusi Nomor 1976. Resolusi ini diusulkan oleh Rusia.

“Situasi memburuk mengharuskan masyarakat internasional mengambil langkah-langkah kualitatif baru untuk memerangi itu,” ujar Duta Besar Rusia di markas PBB, New York, Selasa lalu, soal resolusi itu. “Hari ini kita mengambil langkah besar ke depan memerangi pembajakan.”

Menurut rilis International Maritime Bureau Piracy Reporting Center pada 24 Maret lalu, para perompak Somalia sudah 15-16 kali membajak sejak Januari tahun ini. Terdapat 28 kapal yang dibajak dengan 576 awak kapal disandera.




Analisa mengenai kasus perompakan Somalia berkaitan dengan paham monisme dengan primat hukum nasional:

Pelaksanaan jurisdiksi oleh suatu negara terhadap harta benda, orang, tindakan atau peristiwa yang terjadi di dalam wilayahnya jelas diakui oleh hukum internasional untuk semua negara anggota masyarakat internasional. Prinsip tersebut dikemukakan dengan tepat oleh Lord Macmillan, bahwa, “Adalah suatu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki jurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas territorial ini.” Namun, dengan peningkatan komunikasi, lebih canggihnya struktur organisasi atau perusahaan komersial dengan cabang-cabang transnasional, dan timbulnya karakter internasional dari aktifitas-aktifitas kriminal, ada kecenderungan besar ke arah pelaksanaan jurisdiksi atas dasar kriteria lain selain kriteria lokasi teritorial.
Hukum internasional hanya sedikit membatasi atau sama sekali tidak membatasi jurisdiksi yang dapat dijalankan negara tertentu. Hal tersebut tampak dari keputusan Permanent Court of International Justice a. Tidak ada pembatasan atas pelaksanaan jurisdiksi oleh setiap negara, kecuali jika pembatasan itu dapat diperlihatkan dengan bukti konklusif yang keberadaannya sebagai suatu prinsip hukum internasional. Menurut Mahkamah, negara yang menyatakan bahwa pelaksanaan suatu jurisdiksi tidak sah, berkewajiban untuk memperlihatkan bahwa praktek jurisdiksi oleh suatu negara dilarang oleh hukum internasional. Ada suatu pembatasan praktis atas pelaksanaan jurisdiksi yang luas oleh negara tertentu. Yaitu, “Tidak ada satu negara pun berusaha untuk melaksanakan suatu jurisdiksi terhadap persoalan orang atau benda, di mana negara itu sama sekali tidak tersangkut paut”.
Jurisdiksi negara dalam hukum internasional berdasar ruang atau tempat dari objek atau masalah hukumnya meliputi :
1.        Jurisdiksi teritorial;
Jurisdiksi teritorial yaitu jurisdiksi suatu negara untuk mengatur, menerapkan dan memaksakan hukum nasionalnya terhadap segala sesuatu yang ada atau terjadi (bisa berupa benda, orang, peristiwa) di dalam batas-batas wilayahnya. Menurut hukum internasional yang termasuk dalam ruang lingkup wilayah negara meliputi, wilayah daratan, tanah di bawah wilayah daratan tersebut yang batasnya ke arah bawah tidak terhingga, wilayah perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di bawah laut pedalaman ataupun di bawah perairan kepulauan (bagi negara kepulauan), ruang udara di atas wilayah daratan dan di atas wilayah perairan.
2.        Jurisdiksi quasi-teritorial;
Jurisdiksi quasi teritorial yaitu perluasan atau perpanjangan atas penerapan jurisdiksi teritorial di tempat atau area di luar dan berdekatan dengan batas wilayahnya.
3.        Jurisdiksi ekstra-teritorial;
Jurisdiksi ekstra-teritorial adalah penerapan jurisdiksi suatu negara di wilayah yang bukan merupakan wilayah negara. Seperti laut lepas, ruang udara internasional (ruang udara bebas), atau pada wilayah lain yang status yuridisnya sama seperti laut lepas maupun ruang udara internasional, seperti Antartika (kutub selatan) dan Artika (kutub utara).
4.        Jurisdiksi universal (universal jurisdiction) atau jurisdiksi atas dasar prinsip universalitas;
Jurisdiksi universal adalah jurisdiksi suatu negara berdasarkan hukum internasional atas suatu peristiwa hukum yang melibatkan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, yang menyangkut kepentingan dan rasa keadilan semua umat manusia.
5.        Jurisdiksi eksklusif;
Jurisdiksi eksklusif adalah jurisdiksi suatu negara atas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusifnya.
Salah satu bentuk jurisdiksi negara berdasarkan objek yang diaturnya adalah jurisdiksi kriminal. Jurisdiksi kriminal adalah jurisdiksi suatu negara untuk membuat, memberlakukan, melaksanakan dan memaksakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan pidananya, atas suatu peristiwa pidana atau kejahatan yang terjadi di dalam atau di luar batas-batas wilayah negara tersebut. Berdasarkan atas tempat terjadinya suatu peristiwa pidana, berdasarkan kewarganegaraan orang atau subjek hukum yang melakukan kejahatan, berdasarkan kepentingan negara yang harus dilindungi, dan berdasarkan atas pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan, maka jurisdiksi kriminal suatu negara dapat dibedakan dalam beberapa macam yaitu :
1.        Jurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip teritorial;
Adalah kewenangan suatu negara membuat peraturan perundang-undangan pidana nasionalnya, dan memberlakukan di dalam wilayahnya, melaksanakan terhadap orang atau badan hukum yang ada di dalam wilayahnya dan mengadilinya di hadapan pengadilan nasionalnya.
2.        Jurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip ekstra-teritorial;
Adalah kewenangan suatu negara membuat peraturan perundang-undangan pidana nasionalnya, memberlakukan, dan melaksanakan terhadap orang atau badan hukum yang ada di wilayah yang bukan merupakan wilayah suatu negara.
3.        Jurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip kewarganegaraan aktif;
Adalah memberlakukan peraturan perundang-undangan pidana nasionalnya bagi warganegara yang berada di luar wilayah negara tersebut. Azas ini didasarkan pada adanya hubungan antara negara dengan warga negaranya yang berada di luar wilayah negaranya.


4.        Jurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip kewarganegaraan pasif;
Adalah memberlakukan peraturan perundang-undangan pidana nasionalnya bagi seseorang yang bukan warga negaranya, yang berada di luar wilayah negara tersebut, dan melakukan perbuatan pidana yang merugikan warga negaranya.
5.        Jurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip perlindungan;
Adalah memberlakukan peraturan perundang-undangan pidana nasionalnya bagi warga negaranya maupun bukan warga negaranya, yang mengancam kepentingan negaranya, yang dilakukan di luar wilayah negara tersebut.
6.        Jurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip universal.
Adalah memberlakukan peraturan perundang-undangan pidana nasionalnya bagi siapapun yang melakukan kejahatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan rasa keadilan umat manusia, di manapun, kapanpun kejahatan itu dilakukan, siapapun yang menjadi korbannya.

Maka berdasarkan jenis-jenis yurisdiksi negara di atas, apabila perampok Somalia belum menarik kapal Sinar Kudus ke wilayah pantai Somalia, maka yurisdiksi Nasional Republik Indonesia dapat diterapkan, sebagaimana dalam jenis yurisdiksi ekstra-territorial dam yurisdiksi kriminal ekstra-territorial. Jadi, dalam hal ini, paham monisme dengan primat hukum nasional berlaku karena pihak Indonesia dapat menuntut atau menahan para pembajak Somalia, namun hal ini hanya berlaku apabila kejadiannya masih di luar wilayah Somalia, atau dengan kata lain di laut lepas. Sehingga yurisdiksi Nasional Indonesai dapat diterapkan kepada para pembajak Somalia. Dan dalam kasus Pembajakan ini biasanya orang-orang dari negara yang dibajak tersebut yang dapat melaksanakan yurisdiksinya. Seperti, kita lihat kasus-kasus sebelumnya Organisasi NATO pernah menangkap para pembajak Somalia namun karena tidak adanya wewenang mereka terhadap pembajak tersebut, maka para pemabajak dilepaskan. Hal ini dikarenakan Organisasi tersebut tidak dirugikan dan kasus pembajakan ini bukan merupakan salah satu jenis kejahatan Internasional yang mana setiap negara ikut andil dalam menangani kasus ini.
Dari berita di atas bahwa kapal Sinar Kudus telah ditarik ke markas para pembajak tersebut, tepatnya di wilayah pantai Somalia. Hal ini membuat yurisdiksi Nasional Indonesia tidak bisa sembarangan diterapkan karena menyangkut kedaulatan negara Somalia. Indonesia hanya boleh menerapkan apabila sudah ada izin dari pemerintah Somalia dan adanya Perjanjian Internasional yang khusus menyangkut masalah pembajakan, sehingga Indonesia dapat menerapkan yurisdiksinya untuk menangkap, mengadili dan menahan para pembajak tersebut. Dan Berlandaskan pada permintaan Pemerintah Somalia sendiri dan juga beberapa Resolusi PBB, Indonesia dapat melakukan yurisdiksinya terhadap para pembajak Somalia tersebut. Namun, karena faktor kehati-hatiannya pemerintah kita, jadi yurisdiksi nasional Indonesia tidak dapat diterapkan. Padahal beberapa negara, sudah membuat pernyataan untuk membantu Indonesia. Sehingga, para pembajak Somalia tersebut dengan leluasa meminta uang tebusan kepada pihak pemilik kapal Sinar Kudus tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar