Page

Kamis, 14 April 2011

“Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum Nasional Indonesia”


BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang suci dan sangat penting bagi kehidupan masyarakat, karena perkawinan tidak hanya menyangkut hubungan antara pribadi calon suami isteri, melainkan menyangkut hubungan antara keluarga dan masyarakat.
Manusia dalam pergaulan hidup masyarakat sangat membutuhkan atau adanya ketergantungan antara manusia dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan, karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari hubungan individu dengan individu lainnya, individu dengan golongan masyarakat maupun golongan masyarakat dengan golongan masyarakat lainnya. Dengan kehidupan yang saling bergantungan ini, maka kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani manusia akan terpenuhi.
Perkawinan merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk memperoleh keturunan. Keturunan merupakan penerus keluarga. Dengan adanya perkawinan ini maka akan mengikat hubungan antara pribadi suami isteri untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia. Dalam budaya Asia, perkawinan akan mengikat hubungan antara keluarga kedua belah pihak.
Di zaman globalisasi ini, kebutuhan hidup masyarakat sangat meningkat. Kebutuhan yang meningkat ini membawa suatu negara terbuka atau melakukan hubungan internasional dengan negara lain. Adanya hubungan internasional ini telah membantu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Salah satunya adalah perkawinan. Yang lebih dikenal dengan perkawinan campuran.
Perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena[1]. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.  Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir negara dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia.
Perubahan undang-undang mengenai kewarganegaraan (UU No 62 Tahun 1958 menjadi UU No 12 Tahun 2006) ini membawa dampak positif dan negatif bagi setiap Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing. Dengan adanya perubahan ini setiap WNI yang telah melakukan perkawinan dengan WNA harus cepat-cepat berkoordinasi ke Indonesia.
Perubahan peraturan lama menjadi peraturan baru ini membuat banyaknya WNI memiliki dwi-kewarganegaraan. Dan tidak tertutup kemungkinan akan banyak terjadi kejahatan dan melarikan diri ke negara pasangannya. Selain itu, proses keimigrasian akan mengalami hambatan-hambatan yang akan menyebabkan ketidakefektifan pihak imigrasi untuk melakukan tugasnya.
Undang-undang kewarganegaraan yang baru ini, sangat ketat mengatur masalah kewarganegaraan sehingga menimbulkan birokrasi yang sangat panjang. Yang akhirnya mengakibatkan para WNI yang telah melakukan perkawinan sebelum UU No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan ini ditetapkan, lebih banyak memilih menjadi WNA. Mereka memilih karena negara pasangannya lebih melindungi dan memberikan jaminan hidup bagi keluarganya.
Berkaitan dengan status hukum daan kedudukan hukum anak dari hasil perkawinan campuran, mengingat diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2006 menimbulkan konsekuensi-konsekunesi yang berbeda dengan pundang-undang yang terdahulu, di mana seorang anak sudah terlanjur dilahirkan dari suatu perkawinan campuran[2].
Dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menyebutkan bahwa:
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan oleh DPR Republik Indonesia, juga banyak membawa dampak positif bagi para WNI yang telah menikah dengan WNA. Dalam UU No. 12 Tahun 2006 ini, mengenal adanya dwi-kewarganegaraan terbatas bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran. Sedangkan, UU No. 62 Tahun 1958 hanya mengenal kewarganegaraan tunggal dan kewarganegaraan anak hanya boleh mengikuti kewarganegaraan ayah-nya. Hal ini, mengakibatkan pihak ibu tidak dapat memperoleh hak asuh anak apabila terjadi perceraian.
Anak-anak yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orang tua harus ditaruh di bawah perwalian menurut sistem Burgerlijk Wetboek[3]. Setelah pihak orang tua bercerai pun harus diadakan persediaan mengenai perwalian dari anak-anak mereka yang masih di bawah umur[4].
Pengaturan status dan kedudukan hukum anak dari hasil perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) dalam undang-undang kewarganegaraan yang baru memberi perubahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya. Karena memberikan dwi-kewarganegaraan terbatas bagi anak dari hasil perkawinan campuran (beda kewarganegaraan).

2.      Perumusan Masalah
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya undang-undang ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran (beda kewarganegaraan), berikut komparasinya terhadap undang-undang Kewarganegaraan yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) sebelum dan sesudah lahirnya undang-undang Kewarganegaraan yang baru?
2.      Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak hasil perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) yang tidak tercatat?

3.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Menganalisis status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) sebelum dan sesudah lahirnya undang-undang Kewarganegaraan yang baru.
2.      Menganalisis perlindungan hukum terhadap anak hasil perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) yang tidak tercatat?





4.      Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Secara teoritis, diharapkan memberikan sumbangan pemikiran mengenai status hukum anak dari hasil perkawinan campuran ditinjau dari sebelum dan sesudah lahirnya UU No. 12 Tahun 2006 serta perlindungan terhadap anak yang lahir dari perkawinan campuran (beda kewarganegaraan)  yang tidak tercatat pada khususnya.
2.      Secara praktis, diharapkan penulisan makalah ini dapat memberikan sumbangan terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dan dihadapi pasangan-pasangan suami isteri dalam perkawinan campuran (beda kewarganegaraan).

5.      Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, dimaksudkan karena perubahan peraturan mengenai kewarganegaraan dalam sistem hukum di Indonesia, sehingga menjadi sesuatu yang penting bagi penulis untuk membahas tentang pengaturan status hukum anak dari hasil perkawinan campuran (beda kewarganegaraan). Hal ini mengingat banyaknya permasalahan-permasalahan yang sering muncul dan dihadapi para pasangan yang melakukan perkawinan campuran, khususnya masalah status hukum anak yang tercatat dan tidak tercatat.

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.       Tinjauan Tentang Perkawinan Campuran
a.        Pengertian Perkawinan Campuran
Jika diperhatikan kata-kata yang dipakai oleh pembuat undang-undang waktu mengadakan interpretasi otentik mengenai apa yang diartikan dengan istilah perkawinan campuran[5] (gemegde huwelijk), dipergunakan perumusan yang luas: “Perkawinan dari orang-rang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berbeda adalah perkawinan campuran” (huwelijken tusschen personen, die in Indonesie aan een verschillend recht onderwopen zijn, worden gemegde huwelijken genoemd).
Menurut Pasal 1 GHR, perkawinan campuran adalah perkawinan antara ”orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”.
Pasal 1 GHR memberikan penekanan pada verschillend rech onderwopen, yaitu yang takluk pada hukum berlainan. Seperti disebutkan di atas, warisan stelsel hukum kolonial mengakibatkan pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia, antara lain suku bangsa, golongan, penganut-penganut agama, berlaku hukum yang berlainan terutama di lapangan hukum perdata. Adapun yang menjadi pertimbangan pluralisme tersebut bukan karena diskriminatif tetapi justru untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum dari semua golongan yang bersangkutan, terutama yang, menyangkut hukum perkawinan. Karena faktor perbedaan agama dan kepercayaan masing-masing pihak, tidak mungkin mengadakan hukum yang seragam.
Sementara itu, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan definisi yang sedikit berbeda dengan definisi di atas. Adapun pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan adalah:
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”



Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan antara seorang warganegara RI dengan seorang yang bukan warga negara RI, sehingga padanya termasuk perkawinan antara sesama warga negara RI yang berbeda hukum dan antara sesama bukan warga negara RI.
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional sebagai berikut[6]:
Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur using. Unsur using tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya.
Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam perkawinan campuran, yaitu[7]:
1.      Perkawinan Campuran Antar Golongan (Intergentiel)
Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku , kalau timbul perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing sama atau berbeda kewarganegaraanya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang berlainan, Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.
2.      Perkawinan Campuran Antar Tempat (Interlocal)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya, orang Batak kawin dengan orang Sunda.
3.      Perkawinan Antar Agama (Interrelegius)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang masing-masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan. Misalnya orang Islam dengan orang Kristen.
Berkaitan dengan status sang istri dalam perkawinan campuran, terdapat asas, yaitu[8]:
1.      Asas mengikuti.
Sang istri mengikuti status hukum suami baik pada waktu perkawinan dilangsungkan maupun kemudian setelah perkawinan berjalan.

2.      Asas persamarataan.
Perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka masing-masing (suami dan istri) bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan.

b.        Hubungan Orang Tua dan Anak
Orang tua mempunyai kekuasaan tertentu atas anaknya. Kedua orang tua mernpunyai kewajiban untuk metnelihara dan mendidik anaknya sebaik mungkin sampai anak tersebut kawin atau dianggap dapat berdiri sendiri. Begitu pula sebaliknya, anak harus menghormati dan mentaati kehendak orang tuanya. Orang tua juga wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Bila terdapat perbedaan kewarganegaraan antara orang tua dan anaknya maka harus dilakukan pemilihan mengenai hukum yang menentukan status kewarganegaraan mereka. Menurut Undang-Undang No.62 tahun 1958, status kewarganegaraan anak akan mengikuti kewarganegaraan bapaknya. Seorang anak yang ayahnya adalah Warga Negara Indonesia maka anak tersebut akan menjadi WNI Namun sebaliknya, bila anak tersebut memiliki ayah yang WNA maka anak tersebut akan mengikuti status kewarganegaraan bapaknya.
Masalah kedudukan anak yang lahir dari perkawinan campuran diatur dalam Pasal 11 dan 12 Stb. 1898/158. Pasal 11 menyatakan bahwa kedudukan anak yang lahir dari perkawinan campuran adalah mengikuti kedudukan hukum bapaknya. Keadaan demikian bahkan tidak dapat dipertikaikan, walaupun surat nikah ayah ibu mereka ada kekurangan syarat-syarat atau bahkan dalam hal tidak adanya surat nikah tersebut pun kedudukan anak itu tidak dapat dipertikaikan asalkan pada lahirnya kedua orang tua mereka itu secara terang hidup sebagai suami istri (Pasal 12).
Hubungan orang tua dan anak ini termasuk dalam bidang onderlijke macht atau kekuasaan orang tua. Di Indonesia, hubungan kedua orang tua dan anak ditentukan oleh hukum sang ayah. Status anak sendiri dibagi dalam 2 bagian, yaitu[9]:
a.       Anak yang sah, yaitu anak yang lahir dalam perkawinan orang tua.
b.      Anak tidak sah, dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu anak yan lahir dari hubungan incest, anak yang lahir dari perzinahan, dan anak yang lahir di luar nikah.



2.       Tinjauan Tentang Kewarganegaraan
a.        Pengertian Kewarganegaraan
Kewarganegaraan merupakan hubungan yang paling sering dan kadang-kadang hubungan satu-satunya antara seorang individu dan suatu negara yang menjamin diberikannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu itu pada hukum internasional. Kewarganegaraan dapat sebagai etudes keanggotaan kolektivitas individu-individu di mana tindakan, keputusan dan kebijakan mereka diakui Melalui konsep hukum negara yang mewakili individ- individu itu.[10]
Kewarganegaraan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 tahun 2006 adalah segala ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Hak atas kewarganegaraan sangat penting artinya karena merupakan bentuk pengakuan asasi suatu negara terhadap warga negaranya. Adanya status kewarganegaraan ini akan memberikan kedudukan khusus bagi seorang Warga Negara terhadap negaranya di mana mempunyai hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik dengan negaranya. Indonesia telah memberikan perlindungan hak anak atas kewarganegaraan yang dicantumkan dalam Pasal 5 Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana disebutkan bahwa setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Dengan adanya hak atas kewarganegaraan anak maka negara mempunyai kewajiban untuk melindungi anak sebagai Warga Negaranya dan juga berkewajiban untuk menjamin pendidikan dan perlindungan hak-hak anak lainnya

b.        Prinsip Dasar Kewarganegaraan
1.        Asas Ius Soli dan Ius Sanguinis
Asas ius soli adalah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan menurut tempat kelahirannya. Seseorang dianggap berstatus sebagai warga negara dari negara A karena ia dilahirkan di negara A tersebut. Sementara itu, asas ius sanguinis dapat disebut sebagai asas keturunan orang yang bersangkutan. Sesorang adalah warga negara A, karena orang tuanya warga negara A.[11] Asas ius sanguinis dianut oleh negara yang tidak dibatasi oleh lautan seperti Eropa Kontinental dan Cina.
Asas ius soli dianut oleh negara-negara migrasi seperti USA, Australia, dan Kanada. Untuk sementara waktu asas ius soli menguntungkan, yaitu dengan lahirnya anak-anak dari para imigran di negara tersebut maka putuslah hubungan dengan negara asal. Namun dalam perjalanannya, banyak negara yang meninggalkan asas ias soli, seperti Belanda, Belgia dan lain-lain.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Kewarganegaraan No.12 Tahun 2006 lebih memperhatikan asas-asas kewarganegaraan yang bersifat umum atau universal, yaitu:
1.         Asas ius sanguinis (law of the blood), adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2.         Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas, adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang, berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.
3.         Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4.         Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.

2.        Asas Bipatride dan Apatride
Bipatride timbul ketika menurut peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan dari berbagai negara, seseorang sama-sama dianggap sebagai warga negara oleh negara-negara yang bersangkutan. Contohnya, pasangan WNI melahirkan seorang anak di Amerika Serikat (menganut asas ius soli), Status anaknya diakui oleh hukum Amerika Serikat sebagai Warga Negara Amerika Serikat, tetapi pada saat yang sama oleh hukum Indonesia juga diakui sebagai WNI.
Apatride terjadi apabila seorang anak yang negara orang tuanya menganut asas ius soli lahir di negara yang menganut ius sungunis. Contohnya, pasangan Warga Negara Amerika Serikat melahirkan anak di Indonesia. Menurut hukum Amerika Serikat anaknya berkewarganegaraan Indonesia, tetapi menurut Indonesia, anaknya berkewarganegaraan Amerika Serikat bukan Indonesia.

3.       Tinjauan Tentang Anak
Definisi anak dalam pasal 1 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Anak dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda.
Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan[12], apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal[13]. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis)[14].
Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya[15].
Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis[16].
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958[17].
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
































BAB III
PEMBAHASAN


A.     Pengaturan Tentang Status Anak dari Hasil Perkawinan Campuran
1.        Pengaturan Status Anak dari Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum Perdata Internasional
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan[18], apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal[19]. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).[20] Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya.[21] Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.[22]
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.[23]
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.

2.        Pengaturan Status Anak dari Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah. Dalam Pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan:
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarganegaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi Warga Negara Indonesia dan bisa menjadi Warga Negara Asing:
a.       Status hukum anak menjadi Warga Negara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita WNA dengan pria WNI (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya. Kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.[24] Bila suami meninggal dunia dan anak-anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak-anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri) meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.[25]
b.      Status hukum anak menjadi Warga Negara Asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing.[26] Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 Tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).[27]

3.        Pengaturan Status Anak dari Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Pemberlakuan UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI, memunculkan sederet aturan dan petunjuk pelaksanaan itu rupanya belum membuat urusan kawin campuran selesai seratus persen. Banyak pasangan yang telah maupun mau melakukan perkawinan campuran masih mengeluhkan kesulitan yang dihadapi di lapangan. Jumlah anak yang didaftarkan untuk memperoleh warga negara ganda terbatas. Bisa jadi, keengganan pasangan antar negara mendaftar karena sosialisasi kurang, pilihan untuk tidak menjadi WNI, plus prosedur pengurusan yang dirasa panjang, serta menguras tenaga dan uang[28].
Pengesahan Undang-undang Kewarganegaraa No. 12 Tahun 2006 merupakan momentum bersejarah bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kelahiran undang-undang ini memiliki nilai historis karena produk hukum yang digantikan, yakni Undang-undang No. 62 Tahun 1958 merupakan peninggalan rezim orde lama yang dilestarikan orde baru. Konfigurasi politik era orde lama dan orde baru relatif otoritarian, cenderung melahirkan produk hukum konservatif. Sedangkan di era reformasi, karakter politik cenderung demokratis melahirkan aturan-aturan legal yang responsif. Perubahan konfigurasi politik inilah yang mengantarkan undang-undang kewarganegaraan dari yang berwatak konservatif menjadi responsif[29].
Perwujudan demokratisasi negara dalam Undang-undang Kewarganegaraan yang baru tercermin dari produk hukumnya yang responsif, yakni dalam bentuk persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara dihadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender. Menurut Undang-undang Kewarganegaraan Tahun 2006 dalam Pasal 2 disebutkan bahwa warga negara asli Indonesia adalah orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Pasal inilah yang menihilkan pemojokan terhadap etnik tertentu. Undang-undang ini menyiratkan penolakan konsep diskriminasi dalam perolehan kewarganegaraan atas dasar ras, etnik, dan gender, maupun diskriminasi yang didasarkan pada status perkawinan. Dalam pasal lain juga disebutkan, WNI yang menikah dengan pria WNA tidak lagi dianggap otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya, melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun untuk menentukan pilihan, apakah akan tetap menjadi WNI atau melepaskannya. Selain itu, apabila istri memutuskan tetap menjadi WNI atau selama masa tenggang waktu tiga tahun itu, ia bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya di Indonesia[30].
Bagian yang paling penting dari undang-undang baru ini adalah dianutnya asas campuran Ius Sanguinis - Ius Solli dan mengakui kewarganegaraan ganda pada anak-anak dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri hingga usia 18 tahun. Artinya sampai anak berusia 18 tahun, diizinkan memiliki dua kewarganegaraan. Setelah mencapai usia tersebut ditambah tenggang waktu tiga tahun barulah si anak diwajibkan memilih salah satunya. Ketentuan inilah yang menghindari terjadinya stateless.
Undang-Undang kewarganegaraan UU No. 12 Tahun 2006 ini memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:[31]
a.       Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
b.      Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
c.       Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
d.      Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.[32]
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.[33] Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.[34]
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya, tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka.[35] Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.[36]
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum[37] pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah[38] maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil[39] harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil[40] mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

B.     Perlindungan Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Campuran Yang Tidak Tercatat
Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang diberikan oleh Pegawai Pencatatan Sipil. Jika tidak mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim dapat memakai bukti-bukti lain asal saja keadaan yang nampak keluar, menunjukkan adanya hubungan seperti antara anak dengan orang tuanya. Oleh hakim yang menerima gugatan penyangkalan itu, harus ditunjuk seorang wali khusus yang akan mewakili anak yang disangkal itu. Ibu si anak yang disangkal itu, yang tentunya paling banyak mengetahui tentang keadaan mengenai anak itu dan juga paling mempunyai kepentingan, haruslah dipanggil di muka hakim. Anak yang lahir di luar perkawinan, dinamakan “natuurlijk kind” la dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya.
Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya kurang dari enam bulan lamanya sejak ia menikah resmi.


Masalah anak sah diatur di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pada pasal 42, 43 dan 44.
Pasal 42:
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Pasal 43:
1.        Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2.        Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44:
1.        Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
2.        Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, Undang-Undang Perkawinan di dalam pasal 55 menegaskan:
1.        Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2.        Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3.        atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Di dalam pasal-pasal di atas ada beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah adalah yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan:
a.         Anak sah lahir akibat perkawinan yang sah
b.        Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
Pemberlakuan UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI, memunculkan sederet aturan dan petunjuk pelaksanaan itu rupanya belum membuat urusan kawin campuran selesai seratus persen. Banyak pasangan yang telah maupun mau melakukan perkawinan campuran masih mengeluhkan kesulitan yang dihadapi di lapangan. Jumlah anak yang didaftarkan untuk memperoleh warga negara ganda terbatas. Bisa jadi, keengganan pasangan antar negara mendaftar karena sosialisasi kurang, pilihan untuk tidak menjadi WNI, plus prosedur pengurusan yang dirasa panjang, serta menguras tenaga dan uang.
Keengganan para pasangan antar negara ini untuk mendaftarkan perkawinan ke Catatan Sipil maupun KUA. Namun, pemerintah masih memberikan toleransi bagi anak dari hasil perkawinan campuran yang tidak tercatat setelah Undang-Undang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Toleransi diberikan untuk memberikan waktu mencatatkan status kewarganegaraan atau menentukan opsi kewarganegaraan. Batas waktu pendaftaran status kewarganegaraan Indonesia bagi anak-anak hasil perkawinan campuran ke Depkumham adalah 1 Agustus 2010. Kalau tak sempat daftar, pintu masih terbuka. Sebelum Undang-undang Kewarganegaraan direvisi, anak yang lahir dari istri WNI dan ayah WNA, sebelum umur 18 tahun akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Setelah Undang-Undang Kewarganegaraan 2006 berlaku, anak-anak yang lahir dari hasil perkawinan antar negara itu dapat memiliki kewarganegaraan ganda terbatas. Aturan itu dilengkapi dengan Peraturan Menteri (Permen) nomor M.01-HL.03.01 yang terbit pada 2006. Permenkumham tadi masih diperjelas pula lewat Surat Edaran Menkumham No.M.09-IZ.03.01 tentang fasilitas Keimigrasian bagi Anak Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas yang lahir sebelum 2006.
Apabila, sampai tenggat waktu 1 Agustus 2010 anak-anak hasil perkawinan campuran ini tidak didaftarkan ke Depkumham, maka mereka akan kehilangan hak menjadi WNI sebagai suatu konsekuensi. Mereka akan diperlakukan sebagai WNA yang izin tinggalnya memakai KITAS dan masuk ke Indonesia memakai Visa.
Seandainya, ibu-ibu tidak mendaftarkan anaknya jadi WNI sampai 2010, maka anaknya akan tetap meneruskan perpanjangan KITAS atau KITAP. Posesnya pakai re-entry permit, buku biru, sama seperti bapaknya. Selama anak tersebut berstatus WNA, ia tidak masuk yurisdiksi Indonesia. Jadi kalau anaknya di luar negeri, tidak bisa masuk KBRI untuk minta perlindungan.








Penutup
1.        Kesimpulan
Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran. Dimana anak dari hasil perkawinan campuran mendapat hak untuk menentukan atau memilih kewarganegaraan. Hak tersebut diberikan jika telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan setelah berusia 18 tahun.
Ketentuan yang mengatur untuk memilih kewarganegaraan kepada anak hasil perkawinan campuran diberikan hanya pada anak yang tercatat atau didaftarkan di Kantor Imigrasi. Sedangkan yang tidak terdaftar tidak mendapatkan hak-hak seperti yang dinyatakan dalan UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Meskipun begitu berdasarkan Keputusan Menteri Depkumhum memberikan kelonggaran untuk melakukan naturalisasi sebelum Undang-Undang Kewarganegaraan direvisi, yaitu batas waktu pendaftaran.















Daftar Pustaka

1.        Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.
Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian I (Buku ke-7), Penerbit Alumni, Bandung, 1995.
J.G. Starke, Pengatar Hukum Internasional, Edisi Kesembilan, Akasara Persada, Jakarta, 1989.
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International Suatu Orientasi, Raja Grafindo Persada, Jakartaa, 1997.
Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata; Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005.

2.        Internet

Nuning Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php mod=publisher&op=viewarticle&artid=51, diakses 29 Maret 2011.

Suwarningsih, Kawin campur Menyebabkan Berubahnya Undang-Undang Tentang Kewarganegaraan RI. www.baliprov.go.id. 20 Februari 2008 (diakses pada tanggal 29 Maret 2011)

Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keluarga perkawinan campuran, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&artid=46, diakses 29 Maret 2011.

3.        Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan




[1]    Nuning Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php mod=publisher&op=viewarticle&artid=51, diakses 29 Maret 2011.
[2]    Suwarningsih, Kawin campur Menyebabkan Berubahnya Undang-Undang Tentang Kewarganegaraan RI. www.baliprov.go.id. 20 Februari 2008 (diakses pada tanggal 29 Maret 2011)
[3]     Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian I (Buku ke-7), (Bandung. Alumni1995, hlm. 38)
[4]     Lihat Pasal 229 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
[5]     Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian I (Buku ke-7), (Bandung,  Alumni, 1995, hlm. 212)
[6]     Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional Suatu Orientasi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 36)
[7]     Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara (Jakarta, Prestasi Pustaka Publiser, 2006,Hlm. 242)
[8]     Ibid, hlm. 244
[9]     Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Op.cit, Hlm. 41.
[10]    J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesembilan (Jakarta, Aksara Persada, 1989, Hlm. 125)
[11]    Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 386)
[12]    Sudargo Gautama, Op.cit, hlm. 86
[13]    Status Personal adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengikuti seseorang di mana pun ia pergi. Sudargo Gautama, Op.cit.
[14]    Ibid
[15]    Ibid.
[16]    Ibid.
[17]    Ibid.
[18]    Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian I (Buku ke-7), (Bandung,  Alumni, 1995, hlm. 86)
[19]    Status Personal adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengikuti seseorang di mana pun ia pergi. Sudargo Gautama, Op.cit.
[20]    Ibid
[21]    Ibid
[22]    Ibid
[23]    Ibid
[24]    Lihat Pasal 15 ayat (2) dan 16 ayat (1) Undang-Undang No.62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan.
[25]    Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keluarga perkawinan campuran, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&artid=46, diakses 29 Maret 2011.
[26]    Anak yang lahir dari perkawinan seperti ini tidak termasuk dalam definisi warga negara yang tercantum dalam Pasal 1 UU No.62 Tahun 1958, sehingga dapat digolongkan sebagai warga negara asing. Indonesia menganut asas ius sanguinis, kewarganegaraan anak mengikuti orang tua, yaitu bapak.
[27]    Lihat Pasal 15 Undang-Undang  Nomor 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan.
[28]    Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keluarga perkawinan campuran, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&artid=46, diakses 29 Maret 2011.
[29]    Suwarningsih, Kawin campur Menyebabkan Berubahnya Undang-Undang Tentang Kewarganegaraan RI. www.baliprov.go.id. 20 Februari 2008 (diakses pada tanggal 29 Maret 2011)
[30]    Bagian yang paling penting dari undang-undang baru ini adalah dianutnya asas campuran antara Ius Sanguinis dan Ius Solli. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesembilan (Jakarta: Aksara Persada, 1989, Hlm. 125).
[31]    Lihat penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan.
[32]    Lihat Pasal 4 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan.
[33]    Lihat Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan.
[34]    Lihat Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan.
[35]    Sudargo Gautama, Op.cit., hlm. 13
[36]    Sudargo Gautama, Op.cit., hlm. 66
[37]    Ketertiban umum dapat diartikan sebagai sendi-sendi azasi hukum nasional sang hakim. Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1977, hlm.133)
[38]    Karena belum berusi 18 tahun ia belum memilih kewarganegaraannya, sedangkan pemilihan kewarganegaraan berdasar Pasal 6 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan yang baru dilakukan sesudah perkawinan, bukan sebelum.
[39]    Syarat materiil adalah syarat yang menyangkut pribadi calon mempelai dan larangan-larangan menikah.
[40]    Syarat formil adalah syarat yang menyangkut formalitas yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan. Syarat formil biasanya terkait dengan urusan administrasi perkawinan.

1 komentar: